Kalah

Bagaimana kalian memaknai sebuah kekalahan?
Berikut ini kisahku.  Enjoy it… 😉

“Kalah…” desahku lemah, menjawab pertanyaan yang tersirat di sepasang bola matanya.

“Yaudah lah gapapa…” Ia menepuk bahuku dengan lagak kebapakan.

“Uh… Hhh.. Parah banget-kah tadi??” tanyaku padanya, masih belum tenang. Sulit mengumpulkan kata-kata, seakan ada selusin kecebong berenang di dalam rongga mulutku. Eh, salah. Bukan kecebong tapi katak-katak gembrot yang menapakkan kaki-kaki berselaputnya di gigi dan gusi. Membuatku ingin muntah, teringat penampilanku tadi.

“Memang performance kalian masih jelek, dodol banget… Akui sajalah… Hhahahaha..” Ia tertawa melihat wajah cemberutku. Sudah lebih kecut daripada jeruk purut keramat yang disimpan Uwak untuk sesajen.

“Cari makanan yuk..” katanya lagi sembari menggandeng tanganku, cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, khawatir airmataku akan membanjiri arena pertandingan.

Aku sudah setahun berlatih debat Bahasa Inggris. Namun entah kenapa untuk meraih sebatang piala plastik berlapis kerta kuningan saja susahnya tak terdefinisi. Lebih susah daripada mendefinisikan ‘x’ dalam aljabar! Meraih medali apalagi. Sama saja. Jatuh bangun memperebutkannya, belum berhasil juga.

Terus terang aku cemburu pada sosok lelaki berkacamata yang saat itu berjalan di sampingku. Ia salah satu dari empat manusia berjasa yang memperkenalkanku pada dunia perdebatan. Pelatih, pemberi motivasi, doa, dan segala macam bentuk dukungan. Begitu banyak yang ia bagi padaku, tetapi mengapa justru dia yang bertambah hebat..? Usia kami hanya berselisih satu tahun. Seharusnya aku bisa seperti dia. The 7th rank National Best Speaker… Bukankah selama ini aku gadis yang ambisius, rajin berlatih, dan penuh semangat? Ah, seandainya aku jadi dia, pasti aku bisa memenangkan setiap kompetisi debat yang ada di kota ini…

Langkahku mengikuti sepasang kakinya menuju warung mie di seberang kampus. Mendung mengekori kami. Sepertinya hujan akan segera meluapkan segala kekecewaanku.

Kami tiba di kantin tepat saat tetesan air pertama jatuh ke tanah.  Seketika gerimis menyapu kota, membuatku mulai merasa lapar. Aroma mie kuah rasa kari ayam pesanan pelanggan meja sebelah menggelitiki roma hidungku. Ia memesan dua mangkuk, dan kami pun duduk.

Tiga meja di depan kami, tim debat lawan berkumpul. Tertawa terbahak-bahak, semua dengan wajah riang. Salahsatunya memegang piala berbentuk cangkir keemasan. Aku menelan ludah. Tenggorokanku serasa tercekat, tertelan piala seukuran sapu.

“Kok daritadi ngeliatin mereka melulu sih?” Ia mengetuk hidungku dengan sendok bengkok.

“Eh? E-enggak kok…” aku memalingkan wajah dari mereka, memasang ekspresi sok-nggak-peduli, dan mulai menatap kembali sepasang mata bulat di balik kacamata yang buram terkena uap panas mie instan.

Ia tersenyum. Ada sesuatu yang selalu berhasil membuatku terpesona dari senyumannya. Bukan tahi lalat besar yang hinggap di dekat bibirnya. Bukan pula kumisnya. Bukan pula gigi-gigi putihnya yang tak rata. Melainkan seuntai ketulusan yang senantiasa ada setiap ia tersenyum padaku. Apa sih yang membuatnya begitu baik padaku? Jelas-jelas ia tahu bahwa aku selalu cemburu dan selalu berambisi untuk mengalahkannya…

“Zee…”

“Ya?”

Why do we debate?” Ia bertanya.

Sejenak aku diam. Kenapa aku berdebat? Apa tujuanku? Apakah semata-mata untuk memboyong piala?

Lalu perlahan aku membuka mulut. “Dari kecil Zee takut banget sama public speaking. Gausahkan ngomong di depan umum, ada tamu aja bakalan ngumpet di belakang punggung Mama..” tuturku jujur, mungkin terlalu jujur, karena ia langsung terkekeh.

“Sejak masuk SMA, anehnya Zee malah tertarik dengan debat. Keliatannya asik, seperti pertarungan seru. Ajaib bagaimana manusia bisa mengungkapkan buah pikiran dengan membandingkan begitu banyak teori, filosofi, dan fakta. Zee juga kagum ngeliat senior-senior bisa cas cis cus dengan pede, mempengaruhi pendapat orang lain dengan begitu mudah… Debat benar-benar menantang.”

“So… You debate because it’s fun, right??” Ia menyeringai.

Aku tertawa. Tentu saja. Ia benar. It’s fun. Apalagi istilah yang lebih tepat untuk menggambarkannya? Aku berdebat karena debat itu menyenangkan. Bukan karena menginginkan piala. Tak apa kalah asal aku menikmati perjuanganku. Bukankah kemenangan yang tak bisa dinikmati adalah percuma? Lagipula, tantanganku adalah menaklukkan ketakutanku sendiri. Berani berdebat saja sudah merupakan suatu kemajuan untukku.

Masabodoh mereka yang selalu memandang rendah padaku karena aku kalah! Biarlah. Ini adalah suatu langkah awal dari sebuah perubahan besar. Asalkan aku tetap gigih mengusahakannya dengan cara yang benar.

Sebulan berlalu. Tibalah pertandingan debat berikutnya. Aku sudah berlatih keras. Pulang hingga larut malam, mata bengkak karena kurang tidur, dan badanku gemuk! Gemuk? Hubungannya apa? Well, taulah kalau berlatih debat bawaannya lapar melulu… Jadi banyak ngemil… Hhehhehehe.. 😀

Kali ini tidak boleh sia-sia, pikirku. Percuma berat badanku bertambah dua kilogram karena bolak balik jajan selama latihan kalau tidak membawa hasil. Ayo, Zee, fokus! Lupakan apa kata orang-orang, you gotta be confident! This is your turn to shine..! Aku menghentakkan kaki ke tanah.

“Good luck…” katanya, mengecup dahiku. Mencairkan sepuluh ribu mikroba pencipta demam panggung.

Wajahku memerah. Ini dia felix felicis ramuan keberuntunganku..! Hhahaha.. Tentu saja bukan. Tak ada yang namanya ramuan keberuntungan. Semua diawali dengan usaha. Meskipun tentu saja aku tak akan menolak kecupan yang satu ini sekalipun diberi label ramuan keberuntungan tetapi pada faktanya tak membantu. 😛

Pertandingan dimulai. Timku berhasil meraih kemenangan pada ronde pertama. Ronde kedua, kami kalah. Tetapi kekalahan ronde dua tidak membuatku patah semangat. Ronde ketiga, kami berhasil menang lagi, meski dengan batas nilai pas-pasan.

Satu jam kemudian, skor diumumkan. Timku berhasil maju ke Oktofinal. Tak ada petasan dan kembang api, namun jingkrak-jingkrak mewarnai arena suporter sekolah kami. Kami melanjutkan perjuangan dengan penuh semangat dan berhasil menyapu bersih tiga ronde berikutnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah karier perdebatanku, aku berhasil meraih kemenangan! Sorak-sorai para sahabat hampir memecahkan gendang telingaku.

Lepas dari pelukan sekian banyak tangan, aku berkeliling mencarinya. Di mana dia..?

“Zee..!”

Aku menoleh ke belakang. Di sana ia berdiri, segagah patung Soekarno, menatapku dengan berbinar-binar.

“Kalah?” tanyanya ironis.

“Ya…” jawabku, menghela napas palsu.

Kami berdua tertawa. Ia menyalamiku erat. “Congrats..! Akhirnya menang juga… hhahahahah..”

“Eh, sialan!!” jawabku, melemparnya dengan tumpukan kertas sisa casebuild. Ia mengelak, nyengir lebar, lalu mendekatiku lagi.

No matter you win or lose, you’re still dodol…” Ia menjulurkan lidah jeleknya.

Oh gitu?? Awas yah kalo minta traktir..” ancamku.

“Siapa juga yang minta traktir?! Bweeeeee!!” Ia berlari kabur. Pergi bersama segala keraguan dan pesimisme yang selama ini menghantuiku. Hanya satu yang tak turut hilang: naluriku untuk mengalahkannya. Soon. Very soon. ;P

By : Zivana Sabili

Leave a comment